Aku senang. Aku akan menikah. Ah, betapa senangnya diriku. Aku merasa wanita aling berbahagia saat ini. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang istri. Dan aku akan mempunyai anak-anak yang lucu dan banyak. Aku benar-benar tidak sabar membayangkan hari-hari yang akan aku lalui bersama dia, calon suamiku, belahan hatiku, calon ayah dari anak-anakku…
Setibanya di Rumah Dani, aku disambut oleh kakak-kakaknya dengan pelukan dan bertubi-tubi pertanyaan yang biasa dilontarkan oleh keluarga calon suami. Aku sampai tidak harus menjawab yang mana dulu, tapi aku tetap senang. Mereka membawaku ke taman belakang, ke sebuah gazebo yang cukup besar yang sudah di penuhi oleh berbagai macam cemilan kecil dan minuman-minuman segar. Ketika aku menengok ke dalam rumah, orangtuaku dan orangtua Dani terlihat sedang berbincang-bincang seru di ruang tamu. Mereka sudah tiba terlebih dahulu sekitar dua jam yang lalu. Aku tidak mau mengganggu mereka, lagipula aku ingin tetap berada di sini, di tengah-tengah kakak-kakak dari kekasih hatiku. Mereka sangat menyenangkan dan ramah. Aku benar-benar merasa bagian dari mereka. Tapi dimana gerangan calon suamiku? Aku belum melihatnya dari tadi. Apa dia masih di kamar? Atau mungkin sedang keluar membeli sesuatu?
“Mas Dani kemana, Mba?” Tanyaku pada Mba Sarah, kakak pertama Dani.
“Kemana ya?” tadi si kayaknay di dapur. Mungkin dia msih di sana. Yah, kamu kaya gak tau dia aja. Klo udah di dapur suka lupa diri. Panggil gih” jawabnya sambil menata kembali kue-kue kecil di meja.
“Doooor…! “ kuteriak tepat di belakang telinganya. Dia terkejut sampai terlonjak dan tidak sengaja menumpahkan tepung maizena yang sedang dipegangnya ke bajuku. Langsung saja baju kesayanganku yang berwarna baby blue berubah menjadi putih.
“Aduh sayang…maaf! Kamu sih pake acara ngeget-ngagetin aku segala. Tumpah deh ke baju kamu. Maaf ya sayang….” Katanya dengan muka polos tapi tetap menampakkan ketampanan yang memebuatku semakin mencintainya.
“Hehehe…ga papa ko, sayang. Ini terigu kan? Bukan cat. Jadi masih bisa diilangin kan nodanya?” godaku sambil tersneyu manis.
“Ya bisa ilanglah..kan cuma tepung terigu. Nanti aku sendiri deh yang nyuciin” jawabnya dengan tidak mau kalah melemparkan senyum manisnya. Oh, tuhan…betapa beruntungnya aku memilikinya sebagai suami. Ups, maksudku calon suami.
Hari pernikahanku sudah hamper tiba. Dua hari lagi. Dan aku akan resmi menjadi nyoanya Dani Lukman. Undangan sudah disebarkan ke semua kerabat dan teman serta keluarga.
Aku sedang berada di sebuah taxi bersama adikkku, Farid, ketika handphoneku berbunyi. Mba Sarah calling….terlihat di layar hpku. Dengan suara ringan dan sedikit becanda, kujawab “ Halo kakak ipar! Ada apa? Aku lagi di taxi nih sama Farid, tadi abis ke salon buat ngecek peralatan besok. Mba ada imana?”
“…..” tidak terdengar apa pun diseberang sana.
“Halo? Mba? Halo? Mba, Mba denger suara aku gak?” tanyaku dengan nada yang masih ringan. Aku berpikir mungkin sinyal di daerah yang sedang kulewati jelek, tapi ketika kutajamkan telingaku, aku mendengar suara isak tertahan dari seberang sana.
“Ni..kamu bisa ke sini sekarang?” suara Mba Sarah terdengar bergetar menahan tangis
“Mba kenapa? Mba ada dimana? Ada apa, Mba?! Mba sakit?” Tanyaku dengan panic. Kali ini suaraku meninggi dan sedikit terbata-bata panic.
“Aku di rumah sakit, Ni…di Rumah sakit Pondok Indah. Kamu sekarang ke sini ya. Penting banget”.
“Ada apa, Mba? Siapa yang sakit? Ayah Ibu ga papa, kan?”
“ Mereka ga papa. Mereka semua adadi sisi ko. Pokoknya kamu secepatnya langsung ke sini ya”.
“Tapi kenapa? Bilang dulu sama aku, ada apa?” jawabku. Suaraku bergetar dan air mata tiba-tiba menetes karena erasakan sesuatu yang tidak enak.
“Dani, Ni…Dani barusan kecelakaan. Mobilnya keluar dari jalan told an menabrak truk container. Sekarang dia ada di ICU. Kamu langsung ke sini aja ya….”
“….” Tiba-tiba aku merasa gelap di sekelilingku. Aku pun terjatuh di pangkuan adikku.
Ketika aku sadar dan memebuka mata, orang-orang menatapku dengan mata yang sembab. Semua mata itu menuju padaku dengan satu pandangan. Kasihan.
Aku mencoba bangun dan mencari tahu keadaan sekeliling. Aku berada di sebuah kama. Di rumah sakit. Oh ya, aku ingat…Dani!! Ya tuhan, di mana Dani? Calon suamiku? Apakah dia masih di ICU?
“Dani mana, Bu?” Tanyaku pada Ibu Dani yang duduk tepat di sampingku.
“Rani…sabar ya, sayang. Kamu sebaiknya istirahat dulu,” jawabnya sambil meneteskan air mata.
“Mana Dani? Aku mau ketemu dia! Mana Dani? Tanyaku pada semua orang di ruangan itu.
Semua diam. Sunyi.
“Mana Dani?!!!?? Kenapa kalian diam aja? Jawab…jawab aku, Mba. Jawab aku, Bu..Dani mana?!” kali ini aku berteriak campur menangis.
Mereka tetap membeku.
“Mana Dani, Bu…demi Allah, jawab pertanyaan aku” ibaku pada Ibu Dani.
“Dani udah pergi, sayang…Dani eninggal pas kamu baru sampe di sini”
“Ga mungkin…! Ga mungkin. Ini ga mungkin. Dani ga mungkin ninggalin aku. Kalian pasti bo’ong. Aku mau ketemu Dani. Kalian semua jahat. Aku benci kalian. Aku mau liat Dani. Aku mau cari Dani. Dimana dia sekarang?” kataku sambil menangis dan tertawa secara bersamaan.
“Allah sayang sama dia. Dia udah ga disini. Kita harus ikhlas…kita harus relain dia. Kita doain dia biar tenang di sana…” kata-kata ibu terdngar semakin lama semakin kecil dan samar…
Aku pun berteiak “DANNNIIIII…..!!!!” lalu akhirnya tenggelam dalam kegelapan yang pekat.
Hari ini hari ke 100 sejak kematian Dani. Aku masih tetap menutup diri dari semua orang. Aku tidak bicara dengan orang bila tidak ada keperluan. Selama 100 hari aku sibuk berbicara dengan tuhanku…sibuk mencari-cari jawaban mengapa Dia mengambil orange yang paling aku cintai dalam hidupku, tepat di malam sebelum pernikahanku.
Selama 100 hari aku marah, kesal, dan akhirnya rasa benci timbul pada Sang Penciptaku. Aku tidak mengerti betapa Dia tega memberikan ini semua kepadaku, aku tiak habis pikir salah besar apa yang pernah aku perbuat sehingga membuatNya mengambil Dani dariku.Aku benar-benar menjadi seorang yang marah pada Nya
Tapi semakin aku marah padaNya, semakin aku kehilangan diriku sendiri. Terkadang aku tidak tahu apakah aku masih hidup didunia ataukah sudah mati. Karena semua yang aku lakukan terlihat tidak nyata bagiku. Aku pun mulai melupakanNya.
Sejak saat itu aku pun benar-benar meninggalkanNya. Sebelumnya aku tidak pernah sekalipun meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslimah. Hari-hari dulu selalu dipenuhi oleh lantunan ayat-ayat suci, minggu-mingguku dulu selalu berisi saum Senin-Kamis yang menjadi penyejuk dam pemersatuku bersama Dani. Ya, alasan mengapa Dani begitu mencintaiku adalah karena kecintaanku pada Nya yang mebuat Dani merasa aku orang yang tepat yang tuhan kirim untuk dijadikan seorang istri. Tapi semua itu percuma, hati ini terlalu sakit. Aku merasa dikhianati oleh diriNya yang aku percaya sepanjang hidupku. Aku pun meninggalkanNya seperti Dani meninggalkanku.
Suatu hari, aku harus pergi ke Bogor. Pagi itu aku pergi naik taxi ke stasiun Depok. Karena telat, aku melewati ketera Ekspres yang seharusnya aku naiki. Terpaksa aku naik kereta kelas ekonomi. Sebelumnya aku tidak pernah naik kereta ekonomi seumur hidupku. Aku pasti langsung jijik membayangkan apa yang akan aku temui di dalam kereta jelek, baud an berisik itu. Tapi karena aku harus cepat-cepat sampai Bogor, aku tidak punya pilihan lain.
Benar saja, dalam kereta itu aku melihat banyak hal-ahal aneh dan terkadang menjijikan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Awalnya aku merasa sangat tidak nyaman dengan ornag-orang ini. Ah, aku tidak peduli. Kereta saat ini tidak begitu penuh. Aku memilih untuk tidak peduli dan diam atau kadang-kadang melayangkan pandanganku ke luar jendela. Setelah sepuluh menit menatap pemandangan luar kereta api ini, tiba-tiba aku teringat Dani. Aku ingat dia sangat menyukai sawah hijau yang terhampar luas. Dia pernah berkata “Subhanallah ya, sayang..Allah sayang banget sama negeri ini. Kita dikasih semuanya dengan mudah. Cuma emang kadang-kadang manusia sendiri yang gak bisa ngeliat kebesaranNya. Syukur kita orang-orang yang insyaAllah 100 persen menyadari kebesaran dan keagunganNya. Makanya kamu jangan lupa terus berdoa buat aku ya, buat diri kamu sendiri, buat kita.” Dan air mata pun mengalir deras tanpa seizinku. Tiba- tiba aku merindukanNya…dan tanpa kusadari, aku menyebutnya nama Nya.
“Astagfirullah..ada apa denganku?!”
Ketika itu aku langsung menangis dan menatap sekelilingku. Dimana aku? Ada apa denganku? Aku berusaha berpikir jernih dan mengingat-ingat semua. Dan aku ingat. Aku sedang marah padaNya. Aku sedang meninggalkanNya..tiba-tiba ada rasa ketakutan yang sangat pada diriku. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, “ aku marah padaNya?” kenapa aku harus marah padaNya? Kenapa aku tidak menerima keputusanNya? Bukankah Dia pemilik semua hal di dunia ini? Bukankah aku hanya seorang yang juga milikNya, yang bisa Dia ambil kapan saja? Seketika aku menyadari betapa aku telah jauh berpaling dariNya. Aku menangis…..aku menyesal. Dalam hatiku aku berteriak, maafkan aku Tuhanku, Penyelamatku, Pemilikku, Pencita sejati…aku menyesal. Kumohon jangan tinggalkan aku…kumohon jangan biarkan aku tersesat terlalu jauh…aku menangis dengan kepedihan yang dalam.
Ketika aku larut dalam tangisan, tiba-tiba sebuah tangan dekil dan hitam mencolek pahaku sambil menengadahkan wajahnya yang kelihatan lelah tapi tetap tersenyum tulus. “Mba..sedekahnya, Mba…”katanya dengan suara lirih dan lemah. Kulihat sepintas anak gelandangan itu dengan mata basahku, lalu dengan gerakan lambat, kurogoh kantung jeansku. Biasanya di sana ada uang seribu atau lima ribu sisa kembalian taxi.t tapi ketika ku keluarkan tanganku dari kantong jeans, yang ku dapat hanya selembar uang lima ratus rupiah yang sudah lecek dan nyaris sobek tengahnya.
Dengan perasaan sedikit tidak enak, kuberikan uang lecek itu padanya. “Alhamdulillah…syukur Alhamdulillah hari ini saya bisa makan. Makasih, Mba..semoga Allah membalas kebaikan Mba.” Katanya dengan mata berbinar seraya menerima uang limaratus rupiah yang lecek dan hamper sobek itu.
Dan saat itu pun aku menegakkan badan, menatap dalam-dalam mata anak itu, tersenyum dan berkata pada diriku sendiri
“ Ternyata Dia tidak meninggalkanku….Dia masih di sini bersamaku, seperti dulu aku bersama Dani, dan sekarang pun aku masih bisa merasakannya. Dia tidak meninggalkanku!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar